
19 Oktober 2025, Pernyataan Ketua BPRPI Kampung Tanjung Mulia yang berisikan maklumat resmi dari Petua Adat dan Wali Warga yang menegaskan bahwa tanah di wilayah pasar III, IV dan V Desa Sampali tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat, bukan tanah negara ataupun tanah pribadi.
Maklumat tersebut Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.1734/K/Pdt/2001, Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, serta merujuk pada pembukaan UUD 1945 alenia ke-IV yang menegaskan semangat keadilan sosial dan pengakuan terhadap keberadaan hukum adat di Indonesia.
Dalam isi maklumat tersebut tertulis :
“ Tanah yang terletak di pasar III, IV dan V Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang adalah milik Masyarakat Adat Rakyat Penunggu. Hal ini dibuktikan berdasarkan Aktevan Konsesi Mabar, dan Dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung No.1734/K/Pdt/2001.

Maklumat itu juga menegaskan bahwa pihak penyelenggara negara, eksekutif, legislatif, yudikatif, serta aparat penegak hukum diminta menghormati dan menegakkan aturan yang berlaku atas dasar pengakuan hak-hak masyarakat adat rakyat penunggu, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“ Tanah di Desa Sampali ini ada sejarahnya, ada proses hukum diatas lahan tersebut antara Masyarakat Adat Rakyat Penunggu (BPRPI) melawan PTPN II , tidak ada lembaga lain yang menjalani perkara di lahan pasar III, IV dan V, waktu itu, masyarakat rakyat penunggu lah yang dulu nya mengelola tanah tersebut. Maka dari itu, lahan yang terletak di pasar III, IV dan V Desa Sampali adalah merupakan dasar Aktevan Konsesi Mabar, di bawah naungan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Kampung Tanjung Mulia" , demikian isi pernyataan dalam maklumat tersebut.
Maklumat ini ditandatangani Petua Adat, Wali Warga, Perwakilan Tokoh Masyarakat Rakyat Penunggu, antara lain:
Mereka menyerukan agar seluruh pihak menghormati eksistensi tanah ulayat masyarakat adat rakyat penunggu, dan tidak melakukan klaim atau penerbitan sertifikat dalam bentuk apapun tanpa melibatkan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Kp. Tanjung Mulia sebagai wadah Penggugat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia yang sudah melalui proses hukum.
Landasan Hukum dan Relevansi UU Agraria
Dalam konteks hukum nasional, maklumat tersebut berkaitan erat dengan " Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999, Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Agraria Medan atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara No.592.17321-70/2783.
tanggal 16 Pebruari 1983.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri C/Q Direktur Jenderal Agraria No.44/DJA/1981, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dengan terbitnya Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024, pemerintah seharusnya semakin memperjelas mekanisme pengakuan dan pendaftaran tanah ulayat, termasuk hak pengelolaan dan perlindungan hukum bagi masyarakat rakyat penunggu.
Potensi Sengketa dan Seruan Penyelesaian Damai
Maklumat tersebut muncul di tengah meningkatnya pembangunan yang berpotensi konflik agraria di Sumatera Utara, terutama antara masyarakat adat rakyat penunggu Kp. Tanjung Mulia dengan pihak-pihak yang mengatasnamakan RTRW maupun PSN.
Para tokoh masyarakat adat rakyat penunggu berharap pernyataan ini menjadi dasar dialog hukum yang sehat bagi Institusi Penegak hukum dan Konsultan Hukum, agar tidak menjadi pemicu konflik baru.

“Kami bukan menentang negara, kami justru ingin agar negara menegakkan keadilan sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa masyarakat adat juga memiliki hak yang diakui undang-undang,” dan bagi pihak-pihak lain untuk tidak berpendapat atas Putusan Mahkamah Agung ini, sebab pendapat hukum sudah dituangkan dalam proses persidangan saat itu" ,ujar Syahruddin.
Pemerhati agraria dan hukum adat Faisal Siregar menilai langkah masyarakat ini merupakan bentuk ekspresi konstitusional untuk mempertahankan hak ulayatnya. Pemerintah daerah diminta menindaklanjuti dengan mediasi dan pendataan resmi sesuai Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 dan Permen 14 Tahun 2024 tentang pengakuan hak ulayat".
" Maklumat di Desa Sampali ini menjadi pengingat penting bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga bagian dari identitas dan sejarah masyarakat adat, "pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat menjadi fondasi penting dalam mewujudkan keadilan agraria yang berkeadilan dan berkeadaban" . pungkas Faisal.(AP)
KALI DIBACA