Kekuasaan identik dengan power (kekuatan). Banyak orang yang terpesona dengan kekuasaan, menginginkannya, mengejarnya, bahkan memperebutkannya. Membelinya dengan harga berapapun, bahkan rela mengorbankan segala sesuatu. .
Tapi bayangkan apa jadinya sebuah kekuasaan tanpa power: MACAN OMPONG.
Bukan hanya tidak ditakuti, bahkan jadi olok-olokan π
. Bila kekuatan dari sebuah kekuasaan hanya menjadi dagelan, sebuah lelucon yang tidak lucu, tapi menggelikan, sungguh sangat... sangat memprihatikan.
Saya beberapa hari yang lalu tanpa sengaja menonton sebuah tayangan tiktok, dan terlihat sekelompok orang berteriak pada pejabat sebagai PENGACAU.
Sepotong adegan ini sangat memprihatinkan, menyedihkan dan memalukan. Ini mempertontonkan kepada kita; KEKUASAAN, KEKUATAN, KEWIBAWAAN, KHARISMA, KEHORMATAN pejabat tersebut telah runtuh, hancur dan lumer.
Secara formal, kekuasaannya masih melekat pada pejabat itu, namun legitimasi sosial telah raib, bak zombi jabatan, seperti hidup dan berkuasa padahal telah mati atau tak lagi dihargai.
Saya, Anda dan kita semua sangat berharap bahwa para penguasa mampu menempatkan diri. Bila tidak, maka rakyat yang dikuasai akan memperlihatkan sikap resisten, berupa penolakan, perlawanan dan pemberontakan. Bukan lagi hanya sekedar tidak respek (kalau sekedar tidak respek hanya bersikap membiarkan, tidak perduli dsb), tapi meremehkan, melecehkan kewibawaan.
Nyatanya ada pejabat yang justru membuat SUASANA GADUH, baik oleh pernyataannya maupun oleh sikapnya. Sehingga membangkitkan seribu tanya curiga dalam hati rakyat yang lugu. Apa maksudnya tindakan 'pintar' tersebut? Lalu, apa dasar pernyataannya sehingga sampai pada kesimpulan demikian, misalnya data progres pekerjaan yang menjadi dasar perhitungan?
Lantas, kita juga menyampaikan asumsi bahwa pemerintah lebih mengedepankan pencapaian hasil, target manfaat dan pemanfaatan sebuah program atau proyek, sehingga berbagai upaya dilakukan agar pekerjaan itu selesai sebagaimana diharapkan, ketimbang 'nyerocos' nggak karuan sehingga kegiatan proyek itu kacau balau. Bukankah lebih penting pemanfaatan proyek itu oleh masyarakat ketimbang memfinalti kontraktornya.
Saya percaya, sebagaimana kita semua meyakini bahwa tingkat pendidikan tinggi, apakah itu S1, S2, S3 dengan gelar doktor tidaklah menjamin ATTITUDE seseorang berkualitas. (Ada teman semasa kuliah dulu dan jadi bupati di salah satu daerah di Sumatera Utara mengatakan bahwa pejabatnya banyak memakai gelar pendidikan tinggi, tapi kurang nyambung, dia bilang pendidikan S2, tapi kapabilitasnya dan attitudenya sama dengan yang tidak kuliah).
Kembali ke tiktok yang memprihatinkan itu. Kalau tujuan kunjungan itu untuk mendapatkan empati rakyat. Mungkin itu salah. Sebuah strategi kampungan, bahkan primitif: tidak melakukan apa-apa, tapi mau mempermalukan orang lain. Untuk merehut hati masyarakat haruslah tampil dengan cara berpolitik yang pandai, pintar, cerdik, cerdas, dan lebih lagi: BERPOLITIK YANG BERETIKA.
Di Nias Barat, lebih enam bulan saya mengelana sebagai pedagang keliling, keluar masuk kampung dan berkomunikasi dengan masyarakat, saya menyimpulkan bahwa masyarakat TERLANJUR SAYANG (bak judul sinetron π
π
π
) dengan AMA SINTA WARUWU.
Mereka menilai Khenoki Waruwu rendah hati dan perduli. Mereka tidak memperdulikan tingkat pendidikannya dan latar belakangnya. Saya percaya itu, karena Khenoki Waruwu melakukan segala sesuatu secara sederhana, berbicara dengan cara mereka bicara (tanpa teori dan bahasa ilmiah yang sulit difahami), menyempatkan diri minum teh bersama (mempertahankan tradisi kekeluargaan), bahkan kadang melanggar aturan protokoler: mendadak memberhentikan mobil dinasnya lalu turun. Ia membuka sendiri pintu mobil (tidak menunggu ajudan) walau hanya sekedar bertemu dengan warga. Dia tidak sok (merasa) bupatiππ»ππ»ππ».
Setuju atau tidak setuju, Henoki Waruwu sangat dikagumi masyarakat. Melawannya taklah cukup dengan isu rendahan dan strategi murahan. Bahkan MENANTANGNYA saat ini adalah sebuah UPAYA BUNUH DIRI secara politik.
Dia adalah sebuah mozaik, yang disusun secara acak dari dulu, jauh sebelum dia terjun ke dunia politik, mungkin di saat ia dan keluarganya hanya pedagang misop di Landatar, atau jauh sebelumnya. Dia tidak muncul secara mendadak dan tiba-tiba menyembul dari tengah Samudera Hindia sebagai raksasa politik di Bumi Aekhula.
Ia pasti tertatih-tatih meniti karir politik (dengan segala keterbatasannya), bukan instan, tidak dikarbit, tapi melalui proses yang cukup panjang. Berbagai pengalaman telah memahat dan membentuknya menjadi pemimpin yang disenangi rakyat.
Sebagai orang muda, Kiranya kita harus belajar darinya tentang kesungguhan dan kesederhanaan.
Salam Bumi Aekhula
Soguna Ba Zato
TohugΓ³
Rep.Mr*
KALI DIBACA