
MEDAN, sumut.wartaglobal.id - Bencana banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatra pada akhir November lalu telah mengakibatkan kerusakan yang sangat parah terhadap perumahan, permukiman masyarakat, infrastruktur, serta kehidupan pertanian rakyat. Dampak bencana ini dirasakan luas dan berkelanjutan, terutama oleh petani dan masyarakat desa yang bergantung langsung pada lahan pertanian dan lingkungan sekitarnya.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, yang saat ini berada langsung di wilayah terdampak di Aceh, menyampaikan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan kerusakan yang hampir menyeluruh. Sawah-sawah petani rusak berat dan dipenuhi lumpur, termasuk area persawahan di Kawasan Daulat Pangan SPI, Pusdiklat Bingkai Alam Raya, sebuah pusat pendidikan dan pelatihan petani yang dibangun pada 2006 pascatsunami. “Semua area persawahan di sini rusak. Seharusnya saat ini sudah memasuki masa tanam, tetapi kondisi lahan tidak memungkinkan karena lumpur dan kerusakan yang sangat parah,” ujarnya.
Kerusakan tersebut juga dialami oleh sawah-sawah petani di sekitar Pusdiklat. Petani menjadi kelompok yang paling terdampak karena umumnya bermukim di wilayah pinggiran sungai. Banjir yang terjadi di Aceh Tamiang, khususnya di kawasan yang bermuara ke Kuala Simpang, menunjukkan kerusakan serius pada daerah aliran sungai (DAS). Menurut SPI, kondisi ini tidak cukup ditangani hanya dengan pembersihan lumpur dan sampah kayu di kawasan permukiman dan pertanian warga. Hingga saat ini hujan masih terus berlangsung, sehingga pemerintah perlu memberikan peringatan dini, arahan yang jelas, serta langkah mitigasi untuk menghadapi potensi banjir susulan yang masih mengancam keselamatan rakyat.
Henry Saragih menegaskan bahwa pemerintah juga harus memikirkan secara serius kehidupan petani dan masyarakat desa pascabencana. Banyak rumah warga hancur, tanaman pangan rusak, dan perkebunan rakyat tidak dapat dipanen. Tanpa intervensi negara yang kuat, petani tidak akan mampu memulihkan kehidupan dan produksi pertaniannya secara mandiri.
Lebih jauh, SPI menilai bahwa bencana ini merupakan dampak dari tidak dijalankannya reforma agraria. Tidak ada penataan kawasan pertanian pangan yang harus dilindungi, tidak ada pengelolaan kawasan perkebunan, kehutanan, dan permukiman rakyat yang adil dan berkelanjutan. Bahkan penataan desa dan kota pun diabaikan, sehingga kerentanan terhadap bencana terus berulang.
Oleh karena itu, SPI menegaskan bahwa momentum bencana ini harus menjadi titik balik pelaksanaan reforma agraria. “Ini adalah momentum untuk melaksanakan reforma agraria. Pemerintah harus mencabut izin-izin eksploitasi hutan di hulu sungai, menindak perkebunan kelapa sawit, terutama yang tidak memiliki izin, serta mencabut HGU (hak guna usaha) perkebunan sawit di wilayah hulu sungai. Tanah-tanah yang layak harus dibagikan kepada petani untuk pertanian pangan rakyat. Inilah inti dari pentingnya reforma agraria dilaksanakan. Reforma agraria membawa keadilan, tanah bagi petani, kelestarian bagi masyarakat,” tegas Ketua Umum SPI tersebut.
Secara khusus, SPI meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. Penetapan ini sangat penting untuk menggerakkan seluruh instrumen pemerintahan agar bekerja cepat dan terpadu dalam memulihkan kondisi rakyat. “Rakyat sudah tidak sanggup jika hanya mengandalkan kekuatannya sendiri untuk membersihkan rumah, membangun kembali pertanian, dan memperbaiki infrastruktur,” tegas Ketua Umum SPI.
Kondisi serupa juga terlihat di Kota Kuala Simpang, di mana aktivitas pertokoan belum berjalan normal, lumpur masih menggenangi jalanan, dan warga berjuang membersihkan rumah mereka tanpa ketersediaan air bersih. Kantor-kantor pemerintahan pun masih terdampak, dan situasi serupa terjadi di kampung-kampung sekitar.
Hingga Rabu (17/12/2025), di wilayah perbatasan Langkat dan Aceh Tamiang, petani dan masyarakat desa masih berupaya membersihkan lumpur dari rumah mereka, sementara air bersih belum tersedia dan listrik belum menyala. Hujan kembali turun dengan deras sejak dini hari, memperparah situasi. Ketiadaan listrik menjadi hambatan serius dalam penanganan darurat di lokasi terdampak.
Serikat Petani Indonesia menegaskan akan terus berada bersama rakyat terdampak bencana, mengkonsolidasikan solidaritas, serta mendorong negara untuk hadir secara penuh dalam melindungi kehidupan petani dan masyarakat desa dari dampak krisis ekologis yang terus berulang.(F5/Tim)
KALI DIBACA




.jpg)