
Padahal, menurut UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap wartawan berhak mencari dan memperoleh informasi untuk disiarkan kepada publik. Hal serupa ditegaskan dalam UU No.14 Tahun 2008 tentang KIP yang menekankan prinsip keterbukaan informasi publik.
Namun, Kalapas Medan Bapak Herry Suhasmin justru berkelit. “Saya tidak melarang, hanya membatasi karena keterbatasan ruang,” katanya dalam klarifikasi tidak resminya itu kepada awak media yang hadir esoknya menghadap beliau bak bagai pahlawan kesiangan.
Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan adanya praktik pembagian amplop Rp20 ribu oleh oknum pegawai lapas, itu untuk apa??.
Wartawan menilai tindakan itu sebagai bentuk pelecehan profesi puluhan jurnalis, yang kemudian diperparah oleh pernyataan Kalapas:
“Apakah ada kewajiban kami memberi uang untuk semua wartawan yang datang?”, katanya yang bikin suasana makin gaduh karena arogansinya.
Diketahui protes dari 43 wartawan itu kini berkembang menjadi desakan agar Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Bapak Komjen (Purn) Agus Andrianto serta Kanwil Kemenkumham Sumut mengevaluasi kinerja Herry Suhasmin untuk segera dicopot dari jabatannya.
Selain itu, Dewan Pers dan Komisi Informasi Publik Sumut diminta turun tangan menyelidiki dugaan pelecehan terhadap kebebasan pers.
“Jika ruang sempit dijadikan alasan, maka yang sebenarnya sempit adalah pola pikir birokrasi", tegas salah satu wartawan media cetak senior di Medan.
Kebebasan pers bukanlah hadiah, tetapi amanat konstitusi. Dan setiap upaya pembatasan tanpa dasar sah, sejatinya adalah bentuk pemasungan demokrasi.(Red/Tim)
KALI DIBACA